Sosiologi Suatu Pengantar Soerjono Soekanto Ebook 10+ 0 0.0 Sosiologi Suatu Pengantar Soerjono Soekanto Download 10+ 0 0.0 0fea0b1dc0 sathyam shivam sundaram mp3 songs free download Mac os x 10.4.5 myzar.iso [FULL Version] download.
T okoh yang berperan membangun teori sosiologi klasik diantaranya,. Tokoh-tokoh ini telah memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan sosiologi sebagai ilmu.
Teori Sosiologi Klasik merupakan dasar untuk mempelajari mata kuliah kontemporer pemikiran dari para tokoh teori sosiologi klasik banyak mempengaruhi bahkan menjadi dasar berpijak dari munculnya teori-teori dari para tokoh yang kemudian dikategorikan dalam teori sosiologi kontemporer. Pemikiran-pemikiran serta konsep-konsep para tokoh sosiologi klasik dapat dikatakan sampai kapan pun akan terus menjadi payung munculnya teori-teori baru di kemudian hari. Untuk itu pemahaman mengenai teori sosiologi klasik ini sangat penting bagi siapapun yang ingin mendalami sosiologi, karena selain teori sosiologi klasik merupakan embrio bagi perkembangan teori sosiologi, teori sosiologi klasik juga mengandung konsep-konsep yang sangat berguna dalam rangka membangun wawasan dan memudahkan dalam menginterpretasi terhadap kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi tidak lengkap jika para pecinta sosiologi tidak mendalaminya. Seorang sosiolog kondang dari Inggris yaitu Anthony Giddens yang menulis buku ‘c kapitalism and modern social theory (1971) menegaskan bahwa tiga serangkai Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber merupakan bapak-bapak pendiri sosoiologi yang memiliki sumbangan besar dalam menentukan obyek kajian, landasan metodologi, bangunan teori sosiologi sebagai body of social science. Selanjutnya perjuangan ketiga serangkai tersebut dalam mewujudkan sosiologi sebagai ilmu sangat signifikan.
Mempelajari pemikiran beberapa tokoh tersebut oleh Giddens diibaratkan menyelam ke dalam lautan, artinya begitu luasnya pengetahuan yang dibentuk oleh tiap-tiap tokoh tersebut sehingga untuk mempelajarinya tidak dapat secara serampangan, namun harus penuh konsentrasi. Rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolusi yang berlangsung sepanjang abad 19 merupakan faktor yang paling besar perannya dalam perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi politik terhadap masyarakat sangat dahsyat dan banyak perubahan positif yang telah dihasilkannya. Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli teori itu bukan konsekuensi positifnya, tetapi efek negatifnya. Para pemikir merasa prihatin dengan munculnya chaos dan kekacauan yang ditimbulkan revolusi, terutama di Perancis.
Mereka bertekad untuk berupaya memulihkan ketertiban masyarakat. Sejumlah pemikir yang lebih ekstrem saat itu benar-benar ingin kembali ke keadaan seperti Abad Pertengahan yang penuh kedamaian dan ketertiban. Pemikir yang lebih canggih menyadari bahwa ada kemungkinan untuk menciptakan perubahan sosial yang dapat mengembalikan kepada keadaan yang didambakan itu. Oleh karenanya mereka mencoba menemukan landasan tatanan baru dalam masyarakat yang telah dijungkirbalikkan oleh revolusi politik abad 18 dan 19. Perhatian terhadap masalah ketertiban sosial ini menjadi salah satu perhatian utama teoritisi sosiologi klasik, terutama Comte dan Durkheim.
Revolusi industri yang melanda masyarakat Eropa terutama abad 19 dan awal abad 20 merupakan faktor langsung yang memunculkan teori sosiologi. Setelah Revolusi Industri banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik yang berkembang. Dipihak lain kekuatan kapitalisme semakin menguat dalam menguasai pasar dengan produknya, sementara buruh semakin dieksploitasi tenaganya;upah rendah, PHK. Kondisi ini mendorong lahirnya pergolakan kaum buruh terhadap kapitalisme. Model-model teoritis yang dikembangkan oleh beberapa tokoh tersebut beragam. Pada awal abad kesembilan belas, metode ilmiah sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan fisik. Dalam ilmu fisika dan astronomi sudah diakui bahwa benda-benda fisik, seperti binatang, batu-batu yang jatuh, dapat dijelaskan menurut kekuatan-kekuatan ini dapat ditemukan dengan menggunakan pikiran manusia untuk menganalisa data empiris yang sudah dikumpulkan dengan cermat dan sistematis.
Hasilnya akan merupakan penemuan hukum-hukum deterministik yang kadang-kadang diungkapkan secara matematis. Akibatnya beberapa teoritisi, yang salah satunya adalah Auguste Comte, mengembangkan model-model mengenai perubahan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bentuk-bentuk masyarakat modern dan kompleks (seperti masyarakat Barat) merupakan kulminasi dari suatu proses evolusi yang lama, yang mulai dengan masyarakat sederhana dan primitif. Selain Auguste Comte, terdapat teoritisi lainnya, seperti Simmel, Spencer, Karl Marx, Max Weber, dan lainnya. Para teoritisi tersebut mengembangkan teorinya dengan memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat di zamannya. Pada awalnya kemunculan sosiologi banyak perdebatan, apakah sosiologi merupakan ilmu pengetahuan atau gerakan untuk perbaikan masyarakat.
Perdebatan tersebut selalu dihadirkan oleh berbagai kalangan. Pendapat yang menyebutkan bahwa sosiologi merupakan suatu aksi perbaikan masyarakat banyak mendapat dukungan, karena pada awalnya teori-teori yang muncul digunakan untuk melakukan aksi-aksi sosial yang bertujuan mendapat kehidupan yang lebih baik. Dalam pandangan tersebut sosiologi dipandang sebagai cara untuk mendiagnosis dan membahas sejumlah patologi, serta memperbaiki fungsi organ-organi tersetntu dalam masyarakat. Sedangkan pendapat yang menyebut sosiologi sebagai ilmu pengetahuan belum mendapat pengakuan dari banyak kalangan, karena belum jelas karakteristiknya sebagai suatu disiplin yang ilmiah. Banyak kalangan yang menyindir sosiologi bukan ilmu tetapi masuk dalam ruang lingkup seni.
Selain itu muncul juga tuduhan bahwa untuk mempelajari perilaku masyarakat tidak perlu dengan teori, namun cukup dengan nalar-sebab bebrbeda dengan fenomena alam. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah bentuk sinisme kaum positivis yang selalu ingin mengukur atau mempelajari fenomena sosial dengan fenomena alam. Kalangan universitas di Amerika memunculkan sosiologi pada tahun 1890 dan menerbitkan American Journal of sociology pada tahun 1895.
Organisasi yang menghimpun pada sosiolog muncul pada tahun 1905 dengan dibentuknya American Sociological Association. Di Indonesia sarjana pertama kali mengajar sosiologi adalah Soenario Kolopaking.
Ia mengajar sosiologi pada tahun 1948 di Akademisi Ilmu Politik di Yogyakarta (sekarang melebur pada Universitas Gadjah Mada). Tokoh yang pertama kali menulis buku sosiologi dalam bahasa Indonesia adalah Djody Gondokusumo. Bukunya berjudul Sosiologi Indonesia. Kemudian muncul buku tulisan Hasan Shadily dengan judul sosiologi untuk masyarakat Indonesia. Ahli-ahli sosiologi yang muncul berikutnya adalah Selo Soemarjan, SMP Tjondronegoro, Sajogyo, Soerjono Soekanto, dan lainya. Perkembangan sosiologi berlangsung pesat sejalan dengan perkembangan masyarakat yang menjadi obyek telaahnya. Perkembangan sosiologi memunculkan berbagai cabang sosiologi.
Cabang-cabang sosiologi tersebut antara antara lain sosiologi pedesaan, sosiologi perkotaan, sosiologi pembangunan, sosiologi pertanian. Perkembangan sosiologi juga tidak terlepas dari perkembangan ilmu-ilmu lainnya, sehingga memunculkan cabang-cabang sosiologi seperti, sosiologi pembangunan, sosiologi ekonomi, sosiologi hukum, sosiologi agama, dan sosiologi agama. Di perancis di tandai dengan personalitas Emile Durkheim melelui pendekatanya yang eksplikatif dan obyektif, lewat inskripsi (terjemahan) sosiologi dalam bidang ilmu pengetahuan umum dengan menggunakan model ilmu pengetahuan alam. Sebaliknya konsepsi jerman bersifat dualitis. Konsepsi ini secara jelas membedakan ilmu pengatahuan alam dengan ilmu pengatahuan alam dengan ilmu pengatahuan kejiwaan, penjelasan serta cakupanya. Sosiologi Jerman dengan dua bapak pendirinya yaitu Max Weber dan Georg Simmel kemudian menjadi bersifat komprehensif. Dalam pandangan Durkheim di anggap “peristiwa (tindakan) sosial”, sementara bagi Max We b er di sebut dengan “aktivitas sosial”.
Para perintis sosiolpgi Amerika memiliki visi yang jauh lebih pragmatis dalam disiplin mereka karena bertujuan untuk mengintervensi dan membahas permasalahan yang konkrit secara emprimis. Albion Small (Chicago) membangun sejumlah laboratorium, meluncurkan berbagai program penelitian.
Mempublikasikan buku-buku penuntun dan menerbitkan majalah. Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi.
Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda. Teori berperan sebagai pisau analisis, artinya jika seorang pendidik memiliki kekayaan teori maka akan memudahkan dalam memahami dan menganalisis fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini teori sosiologi berfungsi sebagai alat untuk membuat analisis yang teratur dan sistematis tentang fakta-fakta sosial. Kekayaan teoritis yang dimiliki oleh kita akan memberikan kemudahan dalam menganalisis. Teori-teori dalam sosiologi sangat beragam hanya saja sangat tergantung pada kita untuk menggunakannya.
Berbagai teori dalam sosiologi antara lain, teori pertukaran, teori interaksionisme simbolik, teori konflik, teori sistem, teori integrasi, teori gender, teori postmodern, teori kritis, dan lainnya. Dalam memahami pendidikan Habermas membagi paradigma ilmu sosial dalam tiga jenis. Pertama, ilmu sosial sebagai instrumental knowledge, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Ilmu sosial diperlakukan sebagai ilmu alam, yang menganut positivisme, mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Kedua, hermeneutic knowledge, ilmu sosial yang dimaksudkan untuk memahami realitas sosial secara sungguh-sungguh, jadi lebih kepada kajian filosofis. Ketiga, critical/emancipatory knowledge, ilmu sosial dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan. Kalau Durkheim dan Marx, misalnya, secara berturutan menganjurkan sosiolog untuk berperan sebagai “insinyur sosial” ( social engineer) dan pembela bagi yang tertindas ( advocate for the oppressed), Weber lebih menginginkan agar sosiolog menjadi seorang ilmuwan yang sejauh mungkin terbebas dari misi politik dan aktivitas lain yang berhubungan langsung dengan perubahan sosial dalam masyarakat (Arvidson, 2005).
Sejarah juga menyaksikan bahwa bila sebagian besar sosiolog Eropa dini berasal dari bidangbidang ilmu murni, seperti sejarah, ekonomi politik atau filsafat, kebanyakan sosiolog Amerika beranjak atau berkaitan dengan ranah praktis, seperti pekerja sosial ( social worker) dan pendeta, dan hampir semuanya berasal dari perdesaan (Horton dan Hunt, 1984). Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial ( social structure) dan pranata sosial ( social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini.
Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum.
Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini.
Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz), Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini.
Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B.
Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’.
Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen.
Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer. Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C.
Wright Mills (1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit. Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.
Selain itu, paradigma integratif sebagai ‘konsensus’ antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan. Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat.
Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historis-hermeneutis, dan Emansipatorik Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis.
Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif.
Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan (aposteriori).
Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi obyektif. Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte. Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas.
Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk teori –bukan praksis.
Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917) adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik, terutama sumbangannya tentang fakta sosial. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai. Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu.
Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey. Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada fenomena ‘spiritual’ atau ‘ideal’ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis.
Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut. Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif.
Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis) kecenderungannya.
Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” atau ”sejati”.
Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan. Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan kualitatif-emansipatorik.
Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx).
Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx).
Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau kritis?
Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian: Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42).
Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 268). Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan.
Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense).
Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger.